Selain periodisasi kesenian yang telah di bahas minggu lalu, di kenal juga adanya seni pertunjukan. Seni pertunjukan di sini mulai dikenal oleh bangsa
Indonesia sejak masuknya bangsa Eropa ke tanah air.Menurut
Edi Setyawati “Seni Pertunjukan” adalah sesuatu yang berlaku dalam waktu. Suatu lokasi mempunyai artinya hanya pada waktu suatu pengungkapan seni berlangsung disitu. Hakekat seni pertunjukan adalah gerak, adalah perubahan keadaan. Karena itu substansinya terletak pada imajinasi-imajinasi serta prosesnya sekaligus. Suatu daya rangkum adalah sarananya, suatu cekaman rasa adalah tujuan seninya, keterampilan teknis adalah bahannya. Contoh dari seni pertunjukan diantaranya drama, teather dan tari.
Dalam bahasa Yunani kata drama ditulis draomai yang artinya berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi dan sebagainya: dan “drama” berarti: perbuatan, tindakan. Selain pengertian tersebut drama juga berarti adalah komunikasi, situasi, action yang menimbulkan perhatian, kehebatan dan ketegangan pendengar dan penonton. Menurut Moulton, drama adalah “hidup yang di lukiskan dengan gerak. Dalam arti sempit: drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media percakapan, gerak dan laku dengan atau tanpa dekor (layer dan sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa. Setelah kemerdekaan tanah air banyak muncul perkumpulan drama amatir, baik itu kaum awam, setengah awam, maupun ahli. Sedangkan masalah mengenai drama akan berkisar pada hal-hal berikut: pertama, naskah. Pementasan yang berulang-ulang dirasa kurang adanya sentuhan repertoar asing. Maka naskah ditambah dengan bumbu repertoar asing dalam proses salinan dan saduran. Kedua, pemain: banyak mengalami kegagalan. karena kurang latihan atau hanya ingin jual tampang plus minimnya usia dan pengalaman, menjadi hambatan bagi pementasan. Ketiga, stage: di Indonesia telah bermunculan berbagai gedung pertunjukan. Di sini peran dari tempat teater akan menentukan watak pertunjukan itu. Keempat, penonton: masyarakat cukup mempunyai minat. Hal ini yang mendorong munculnya berbagai perkumpulan drama. Secara estimologis (asal kata), teater adalah gedung pertunjukan (auditorium). Dalam arti luas: teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Misalnya wayang orang, ketoprak, ludruk, srandul, membai, randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong, topeng, dagelan, sulapan, akrobatik dan sebagainya. Sedangkan untuk bentuk-bentuk teater, antara lain: - Yang lahir dalam lingkungan desa: kegiatannya terikat erat oleh persoalan kehidupan sehari-hari didesa, yaitu adat dan agama. Contoh: pada kehidupan teater Bali.
- Yang lahir di Keraton: pertunjukan dilakukan pada upacara-upacara tertentu dan pelakunya adalah keluarga bangsawan.
- Yang tumbuh di kota-kota: ia lahir dari kebutuhan yang timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok baru dalam masyarakat dan sebagai produk dari kebutuhan baru.
- Yang diberi predikat madern atau kontemporer: ia menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe namun sebagai individu.
Menurut RMA. Harymawan, di Indonesia terdapat sejarah naskah dan pentas, antara lain: - Sebelum Abad ke-20: tak ada naskah dan pentas. Yang ada ialah naskah cerita rakyat dan kisah yang turun-temurun disampaikan secara lisan oleh ayah kepada anak. Drama-drama rakyat, istana, keagamaan, di arena, di bawah atap atau lapangan terbuka
- Permulaan Abad ke-20: karena pengaruh drama barat dan cara pemanggungannya (staging), timbul bentuk-bentuk drama baru: komedi stambul/ istana/ bangsawan, tonil opera, wyang orang, ketoprak, ludruk dan lain-lain. Tidak menggunakan naskah (improvisatoris), tetapi menggunakan pentas: panggungnya berbingkai
- Zaman Pujangga Baru: muncul naskah drama asli yang dipakai oleh pementasan amatir. Rombongan professional tidak menggunakannya.
- Zaman Jepang: sensor Sendebu sangat keras, diharuskan menggunakan naskah. Rombongan professional terpaksa belajar membaca. Perkumpulan amatir tidak kaget karena terdiri atas kaum terpelajar. Bagi para professional merupakan kemajuan, namun sayang karena keinsyafan.
- Zaman Kini: rombongan professional membuang naskah kembali. Organisasi amatir setia pada naskah, sayang sering mengabaikan pengarang, penyadur atau penyalinnya.
Selain drama jenis seni pertunjukan lain adalah seni tari. Tari tradisional kerakyatan yang berkembang di Jawa ada 4 kelompok yaitu:
1. Tari Jathilan
Merupakan gaya seni tari kerakyatan yang sangat sederhana, tidak begitu rumit, bersifat spontan serta berhubungan dengan ritual. Pada nantinya dengan sebutan “ndadi” pemain akan menari diluar kesadarannya. Menurut mereka, penari kemasukan roh yang ikut menari. Biasanya pemain yang sedang “ndadi” sering diberi jenis-jenis makanan, seperti padi, rumput, bunga, pecahan kaca, dan sebagainya, sehingga perbuatannya bersifat supranatural.
2. Tari Tayub
Tari ini bersangkutan dengan upacara kesuburan, baik untuk kesuburan tanah maupun kesuburan manusia. Komposisi tari tayub yang diperagakan oleh penari wanita disebut ledhek dan penari laki-laki disebut pengibing, menari-nari bersama analog dengan hubungan antara benih dengan tanahnya, sehingga hubungan laki perempuan pada tari tayub secara magi simpatetis dapat mempengaruhi kesuburan tanah.
3. Tari Slawatan
Awalnya tarian ini lebih banyak menggunakan posisi duduk dengan gerakan-gerakan sederhana sambil menyanyikan lagu-lagu yang berisikan syair-syair yang mengagungkan Allah dan Nabi Muhammad SAW. Tetapi dalam perkembangannya tari ini dipadukan dengan gerakan pencak silat. Contoh Tari Kobrasiswa, Badui, Angguk, dan Trengganon.
4. Tari Jenis Dramatari Rakyat
Tarian ini didasari oleh semacam upacara ritual adalah wayang topeng. Topeng yang semata-mata sebagai penutup muka atau mask sebenarnya merupakan tipologi suatu karakter jiwa manusia maupun jenis-jenis binatang. Bentuk-bentuk topeng itu dianggap memiliki jiwa yang sampai sekarang masih berpengaruh terhadap masyarakat.
Dengan perkembangan jaman banyak tarian daerah yang mulai ditinggalkan. Maka banyak hal yang dilakukan untuk melestarikan tari tradisional tersebut. Beberapa peristiwa yang patut dicatat sehubungan dengan usaha-usaha mengembangkan seni tari melalui jalur kegiatan pendidikan formal adalah:
1. Dekade 1950-1960
Dialog yang terjadi antara seniman-seniman pada Jawatan Kebudayaan tidak sempat berkembang karena sikap seniman yang nampaknya kurang menghendaki pengelolaan kesenian sebagai kegiatan studi di perguruan tinggi ke arah pendidikan kesarjanaan.
2. Dekade 1960-1970
Konservatori Tari
Indonesia berdiri dalam program tiga tahun setingkat Sekolah Menengah Tingkat Atas.
Sedangkan Akademi Seni Tari
Indonesia berdiri di
Yogyakarta disusul pendirian ASTI di Bali dan di
Bandung. Semua sekolah seni tari ini di bawah pengelolaan Dirjen Kebudayaan.
3. Dekade 1970-1980
Pengelolaan Sekolah dan Akademi tari kemudian dialihkan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan ASTI kepada Dirjen Pendidikan Tinggi.
4. Dekade 1980- ...
Pemantapan akademi-akademi kesenian untuk dikembangkan sebagai bagian dalam wadah Institut Kesenian Indonesia untuk memberkan kemungkinan perkembangan lebih luas dan tingkat yang lebih lanjut. Selain itu juga mulai dibukanya program Diploma kependidikan pada Insititut Keguruan dan Ilmu Pendidikan seperti di Yogyakarta, Surabaya, dan Solo.
Dari kenyataan tersebut di atas, tampaklah bahwa pendidikan tinggi tari tidaklah terkait secara langsung dengan Universitas/Institut dalam program kesarjanaan, sehingga studi tari yang berkembang melalui disiplin-disiplin ilmu sosial maupun humaniora tidak dapat berkembang.
namun, bagaimanapun juga, upaya-upaya untuk menyelenggarakan kegiatan berseni tari dalam jalur formal merupakan langkah baru guna melestarikan seni tari di Indonesia.