Jika berbicara mengenai seni kriya maka tidak akan bisa lepas dari seni rupa. Keduanya sejajar dan berkembang bersama, jika seni rupa menitikberatkan pada estetika maka kriya lebih memfokuskan diri pada aplikasinya. Namun seni kria juga tetap akan bersentuhan langsung dengan estetika. Hal ini dipandang mungkin karena kebutuhan akan karya kriya tidak hanya untuk sarana kehidupan saja, namun juga demi pemenuhan akan unsur keindahan. Karena aspek fungsi menempati porsi utama, maka seni kria haruslah mempunyai unsur kenyamanan. Kenyamanan disini berarti enak untuk dipakai. Dengan demikian maka suatu benda telah memenuhi fungsinya dengan baik.
Seni Kriya jika ditilik dari bentuk perwujudannya, termasuk sebagai seni rupa.Jika ditilik dari sudut matranya, maka seni kriya termasuk ke dalam seni rupa dua matra, yaitu seni rupa yang mempunyai 2 ukuran, yaitu ukuran panjang dan lebar. Kata lain seni rupa dua matra bersifat dasar, tidak mempunyai ketebalan sehingga tidak memakan ruang, contoh dari seni kriya dua matra ini misalnya saja, kerajinan hiasan dinding.
Seni kriya diminati dengan tujuan yang beragam, namun secara garis besar fungsi kria dapat dibagi menjadi tiga bagian; sebagai dekorasi, sebagai benda terapan (sekali pakai) dan sebagai mainan. Seni kriya yang sesungguhnya adalah seni yang mengutamakan fungsinya. Adapun unsur hiasan disini hanya sebagai pendukung. Sehingga bagaimana indahnya benda tersebut fungsi yang semestinya tak akan hilang. Subroto mengatakan setidaknya terdapat lima kendala yang dihadapi oleh seorang seniman, yakni; kebutuhan (minat), ketersediaan bahan, penguasaan tekhnologi, ketersediaan dana dan daya kreasi.
Dalam unsur fungsi, seorang seniman kriya haruslah mampu untuk menggabungkan antara aspek keindahan dan fungsional. Sehingga karya yang dihasilkan dapat memenuhi fungsi sementara namun bentuknya tetap juga indah. Seorang kreator kriya diwajibkan mempunyai pengetahuan yang luas akan penguasaan bahan.
Selain faktor penghambat kesenian, Subroto juga memberikan lima faktor utama dalam mendukung seni, yakni; kebutuhan, bahan, tekhnologi, modal dan kreasi. Setidaknya beberapa modal dalam mendukung kesenian diatas, akan merangsang seorang seniman untuk terus dan terus melanjutkan karya dalam periode kedepan. Seorang seniman haruslah mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Dan hal ini sudah terlihat dalam besarnya modal bawaan yang dipunyai oleh setiap seniman.
Semenjak zaman dulu sebenarnya secara tidak langsung, seni kriya telah tercipta. Hal ini terjadi pada mulanya sebatas sebagai pelengkap atau sarana dalam prosesi upacara, hiasan rumah atau sebagai cinderamata. Tetapi pada perkembangannya, jenis bentuk yang dihasilkan kemudian berkembang kedalam jenis yang beragam dan terciptalah kesenian kriya yang mendatangkan keuntungan.
Seni Kriya pada dasarnya adalah tertuju kepada sebuah ornamen-ornamen dalam bentuknya. Sebagai contohnya, antara lain adalah ornamen pada keris, wayang, batik yang memiliki ornamen sendiri, ukiran-ukiran kayu di Jepara, ukiran pada logam, dan lain-lain.
Di dalam keris dan wayang dapat kita lihat memakai sesuatu ornamen tersendiri. Dalam lekukan tubuh keris, gagang keris, dan bungkusnya keris memakai suatu ornamen dalam keindahannya. Sedangkan wayang juga tidak jauh beda. Di dalam wayang sendiri hampir semuanya memakai sebuah ukiran ornamen. Seni wayang sebagai bentuk seni klasik dapat kesempatan untuk berkembang terus di pusat-pusat pemerintahan, disamping cabang seni-seni klasik lainnya.
Dalam hal seni lukis batik, banyak seniman yang merahasiakan dapur studionya sehingga susah ditebak bagaimana praktek kerjanya. Tetapi hampir dapat dipastikan terutama yang besar-besr bahwa mereka itu punya “buruh” yang menjadi pemanjangan tangannya. Bagian-bagian proses kerja seperti tembokan, ialah menutup bidang – bidang besar dengan lilin agar tidak terkena warna ketika dicelup, atu ngisen-iseni, yakni mengisi bidang bidang kecil dengan cecek atau sawut adalah bagian-bagian yang cukup mudah untuk diserahkan kepada orang lain tanpa resiko yang berarti.
Seni batik ini disebut sebagai seni lukis tradisional. Sejak jaman madya seni batik berkembang pesat. Nantinya setiap seni batik di daerah – daerah di Indonesia mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Hal ini dikarenakan pada jaman madya segala hasil dari suatu apapun menjadi hak milik suatu kerajaan atau daerah tertentu atau bersifat istana sentris.
0 komentar:
Posting Komentar