Zaman kolonial merupakan bagian sejarah terbesar bangsa
utama dalam proses perumusan cita-cita dan idealisme bangsa.
Sejarawan Taufik Abdullah dalam orasi kebudayaannya yang
bertajuk “Tamasya Sejarah Islam di Nusantara; Sebuah Tinjauan Ulang” ,mengatakan bahwa “Dapat dipahami sejak awal pergerakan kebangsaan, kedudukan ajaran Islam dan pemikirannya selalu menempati kedudukan sentral dalam wacana dan proses politik,”. Sekitar awal abad ke-20, ide-ide pembaharuan terlihat telah mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Melihat latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar
Sehingga ketika mereka kembali ke tanah air, kualitas keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka umumnya semakin meningkat. Ide-ide baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi pemikiran dan dakwah mereka di tanah air. Faktor seperti proyek pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda ketika itu telah menunjukkan implikasi nyata berupa kemunculan kaum pribumi terpelajar. Selanjutnya perlu disadari pula bahwa antara berbagai tokoh pemuka gerakan pembaharuan Islam di Indonesia relatif memiliki kekhasan seiring perbedaan latar belakang karakter dan pendidikan masing-masing.
Diantara tokoh yang dipandang berperan dalam pembaharuan Islam adalah K.H. Hasyim Asy`ari. Ia telah memperkenalkan pola pendidikan madrasah di lingkungan pesantren, khususnya di daerah Jawa Timur. Karena posisinya yang sangat sentral dalam jaringan pesantren di Pulau Jawa, pembaharuan yang terjadi di pesantren cepat menyebar ke pesantren-pesantren lain. Terlebih setelah pembentukan perkumpulan Nahdlatul Ulama tanggal 31 Januari 1926 di
NU dilahirkan oleh sejumlah kyai tradisional yang berusaha mempertahankan kepentingan kyai pada tingkat yang diperhitungkan. Ketika NU lahir, banyak tantangan yang dihadapi, antara lain perlawanan dari kaum imperialis yang mempenetrasi Islam, kehadiran kelompok reformis yang diwakili Muhammadiyah yang telah memarginalkan legitimasi para kyai, dan kehadiran sejumlah organisasi seperti Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang melemahkan kekuatan para kyai sebagai juru bicara komunitas Islam. Namun, menurut Martin Van Bruinessen, alasan tersebut tidak dapat dipertahankan.
Orientasi pendidikan NU adalah pendirian pesantren-pesantren di tiap-tiap cabang dan ranting. Baik pada masa penjajahan Belanda maupun masa Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah serta mengadakan tabligh dan pengajian-pengajian. Namun, urusan sosial bahkan politik tidak dikesampingkan. Dapat dikatakan bahwa pendidikan pesantren yang diterapkan NU awalnya bersifat tradisional dan cenderung kedaerahan. Namun, seiring meningkatnya jumlah santri yang menimba ilmu disana, yang datang dari berbagai daerah di nusantara, membuka tantangan bagi pengurus pesantren untuk meningkatkan efektivitas pendidikan bagi santrinya. Lambat laun pesantren mengalami pembaharuan, dimana pengajaran yang semula dilaksanakan dengan sistem sorogan dan bandongan ditingkatkan dengan memasukkan sistem berkelas yang kemudian disebut dengan madrasah.
Bersamaan dengan perkembangan dunia global pesantren dihadapkan pada beberapa perubahan sosial budaya yang tidak terelakkan. Konsekuensinya, pesantren harus bisa mengimbanginya. Dengan banyaknya siswa yang menimba ilmu dari berbagai daerah di nusantara sedikit banyak telah memberikan pertukaran pemikiran dan pengetahuan tentang daerah masing-masing. Sehingga, tiap siswa mendapatkan pengetahuan mengenai seluk beluk daerah-daerah lain di nusantara selain daerah mereka sendiri. Hal ini tentunya mengurangi fanatisme masing-masing siswa terhadap daerahnya. Tentunya rasa nasionalisme dan persatuan untuk memajukan negara akan terbentuk melalui lembaga pesantren ini.
Kemajuan informasi dan komunikasi telah menembus benteng budaya pesantren. Dinamika sosial ekonomi mengharuskan pesantren tampil dalam persaingan dunia bebas. Dari perspektif pendidikan, pesantren merupakan lembaga kependidikan yang mampu bertahan terhadap globalisasi. Hal ini karena pesantren tetap mempertahankan tradisi keagamaan walaupun dalam perkembangannya menagalami perubahan dan pembaharuan. Tentunya tepat sekali bila lembaga pesantren dijadikan sarana untuk mendorong dan meningkatkan jiwa nasionalisme bangsa
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini penting dipahami bahwa gerakan nasionalisme
0 komentar:
Posting Komentar